
Anggota Komisi III, Abdul Rohim.
Aksaramedia.com, SAMARINDA – Ketimpangan pembagian hasil tambang antara pusat dan daerah kembali disoroti DPRD Samarinda. Anggota Komisi III, Abdul Rohim, menyuarakan keresahan terkait implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang dinilainya belum berpihak pada daerah penghasil.
Menurut Rohim, daerah seperti Samarinda kerap menanggung dampak buruk dari aktivitas pertambangan, seperti kerusakan lingkungan dan infrastruktur, namun justru mendapat bagian paling kecil dari pendapatan sektor tersebut.
“Bayangkan, kita di daerah mendapat benefit paling kecil, tapi yang menanggung dampaknya justru paling besar,” ujar Rohim, di Gedung DPRD Samarinda, Jalan Basuki Rahmat.
Ia juga menilai bahwa revisi UU Minerba tidak membawa semangat desentralisasi seperti yang diharapkan. Justru, menurutnya, regulasi ini kembali menguatkan pola sentralistik yang merugikan daerah.
“Undang-undang Minerba ini, dalam pandangan saya, mengarah pada penghilangan substansi desentralisasi. Sekarang desentralisasi hanya tinggal kemasan, isinya kembali ke pola sentralistik,” ungkapnya.
Rohim menambahkan bahwa penghilangan istilah otonomi daerah dalam dokumen resmi pemerintahan pusat juga menjadi pertanda mengecilnya peran daerah dalam pengambilan keputusan strategis, termasuk pengelolaan sumber daya alam.
“Dulu, masih ada istilah otonomi daerah yang jelas dalam struktur pemerintahan. Tapi sekarang, istilah itu mulai hilang dan perannya makin tidak tampak,” katanya.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap kedaulatan daerah, ia mengajak seluruh elemen, baik eksekutif maupun legislatif, bersatu menyuarakan hak daerah dalam pengelolaan kekayaan alam.
“Kita harus terus memperjuangkan agar daerah tidak hanya menjadi penonton dalam pengelolaan kekayaan alamnya sendiri,” tegasnya. *(Adv/DPRD Samarinda/gt)