
AksaraMedia.com | Kutai Kartanegara — Maraknya keberadaan anak-anak berpenampilan badut di ruang publik saat malam hari menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk merespons keluhan masyarakat yang khawatir terhadap nasib dan keselamatan anak-anak tersebut, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kukar bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) menggelar operasi penertiban pada Sabtu malam, 2 Agustus 2025.
Operasi gabungan ini menyisir sejumlah titik rawan di kawasan Tenggarong, antara lain turapan, lapangan basket Timbau, kawasan Sari Laut, Taman Tanjong, dan Titik Nol. Hasilnya, lima anak yang berdandan sebagai badut jalanan berhasil diamankan.
Kabid Penegakan Produk Hukum Daerah Satpol PP Kukar, Rasidi, menjelaskan bahwa usia anak-anak yang diamankan berkisar antara 10 hingga 13 tahun. “Sebagian besar sudah tidak bersekolah, bahkan ada yang belum bisa membaca. Kami juga temukan mereka beberapa kali mangkal di bawah jembatan,” ungkapnya.
Menurut Rasidi, anak-anak ini kerap muncul di ruang publik malam hari dan tidak tampak di lokasi-lokasi umum siang hari seperti SPBU atau bank. Penertiban malam dilakukan karena aktivitas mereka cenderung meningkat di waktu tersebut.
“Fokus kami adalah pada fasilitas umum, termasuk pelambung merah (traffic light). Kalau yang dewasa tidak ganggu ketertiban, biasanya tidak kami tindak. Tapi kalau anak-anak, ini menyangkut hak tumbuh kembang dan perlindungan mereka,” tegas Rasidi.
Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya pernah membongkar praktik serupa sebelumnya, di mana anak-anak ternyata bekerja di bawah kendali orang dewasa yang berperan sebagai “bos”. “Saat itu, dua orang dewasa sempat kami proses hukum. Tapi pola ini kembali muncul. Kami duga ada tekanan ekonomi yang menjadi pemicu utama,” tambahnya.
Rasidi menekankan, bila terdapat bukti eksploitasi atau keterlibatan orang dewasa sebagai koordinator, pihaknya siap melanjutkan kasus ke ranah hukum. “Kalau hanya pembinaan, tidak memberi efek jera. Kami siap bawa ke meja hijau,” ujarnya.
Kepala DP3A Kukar, Hero Suprayitno, menegaskan bahwa anak-anak tersebut adalah korban eksploitasi ekonomi. “Mereka bukan sekadar badut hiburan di jalan, tapi korban dari sistem yang tidak berpihak pada anak. Penanganannya harus menyeluruh,” katanya.
Hero menyampaikan bahwa DP3A Kukar akan memberikan pendampingan lanjutan melalui Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Anak, termasuk layanan konseling, asesmen sosial, serta advokasi. Anak-anak yang putus sekolah akan didata dan difasilitasi untuk kembali ke pendidikan formal melalui kerja sama lintas instansi, seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan Bagian Kesejahteraan Rakyat.
Senada dengan itu, konselor anak, Mira Hapsari, menilai penanganan terhadap fenomena ini tidak cukup dengan pendekatan hukum atau razia. “Beberapa anak sudah lebih dari sekali diamankan, tapi tetap kembali ke jalan. Bahkan, ada orang tua yang sadar menyerahkan anaknya ke ‘bos’ lengkap dengan kostum dan tempat tinggal,” ujarnya prihatin.
Mira menekankan pentingnya menyediakan tempat aman bagi anak-anak yang diamankan. “Memulangkan mereka ke rumah tanpa penilaian menyeluruh justru bisa memperparah kondisi mereka. Rumah seharusnya tempat paling aman. Jika tidak, negara harus hadir lebih kuat,” tutupnya.
Peristiwa ini menyoroti persoalan mendalam seputar kemiskinan struktural, lemahnya sistem pengasuhan, dan minimnya perlindungan terhadap hak anak. Pemerintah daerah bersama seluruh elemen masyarakat diharapkan dapat mengambil langkah strategis untuk memutus rantai eksploitasi terhadap anak-anak di jalanan.